Kamis, 11 Agustus 2011

Makalah Pengertian Agama dan Latar Belakangnya



            Secara sederhana, pengertian Agama dapat dilihat dari sudut kebahasaan (etimologi) dan sudut istilah (terminologi). Pengertian Agama dari sudut kebahasaan akan sangat mudah diartikan daripada pengertian dari sudut istilah, karena pengertian dari sudut istilah ini sudah mengandung muatan subyektivitas dari orang yang mengartikannya. Atas dasar ini, maka tidak mengherankan jika muncul beberapa ahli yang tidak tertarik mendefenisikan Agama. James H. Leuba misalnya, berusaha mengumpulkan beberapa defenisi yang pernah dibuat orang tentang Agama, tidak kurang dari 48 teori. Namun akhirnya ia berkesimpulan, bahwa usaha untuk mendefenisikan Agama itu tidak ada gunanya, karena hanya merupakan kepandaian dersilat lidah. Mukti Ali berpandapat, tidak ada penertian yang lebih mudah dari pengertian Agama, pernyataan ini didasarkan atas tiga alasan. Pertama, bahwa Agama adalah masalah batin, subyektif dan sangat individual sifatnya. Kedua, belum ada orang yang sangat terlalu bersemangat dan emosional daripada orang yang membicarakan Agama. Setiap pengertian atas Agama selalu ada emosi yang melekat erat sehingga kata Agama itu sangat susah untuk didefenisikan. Ketiga, konsep tentang Agama dipengaruhi oleh tujuan dari orang yang memberi defenisi tersebut.
            M. Sastraprateja mengatakan, salah satu kesulitan untuk berbicara mengenai Agama secara umum ialah adanya perbedaan-perbedaan dalam memahami pengertian Agama, disamping ada perbedaan-perbedaan dalam memehami arti Agama, disamping terdapat perbedaan juga dalam memahami serta menerima setiap Agama terhadap suatu usaha memahami Agama.
            Hingga sampai sekarang, perdebatan tentang pengertian Agama belum selesai, seorang ahli ilmu jiwa Agama W.H. Clark mengatakan bahwa, tidak ada yang lebih sukar dari pada mencari kata-kata yang dapat digunakan untuk membuat defenisi Agama karena pemahaman Agama sangat subyektif, intern dan individual, dimana setiap orang akam merasakan pengalaman agam yang berbeda dari orang lain. Disamping itu dapat dilihat bahwa, pada umumnya orang akan lebih condong kepada mengaku Agama daripada ia tidak menjalankannya.
            Pengertian Agama dari segi bahasa dapat kita ikuti antara lain uraian yang diberikan Harun Nasution. Dalam masyarakat Indonesia selain dari kata Agama, dikenal juga dengan kata dien dari bahasa Arab dan kata religi dari bahasa Eropa. Agama berasal dari bahasa Sanskrit. Kata itu berasal dari dua kata yaitu kata a (tidak) dan gam (pergi), jadi Agama berarti tidak pergi, tetap ditempat, diwarisi secara turun temurun. Hal demikian menunjukan pada satu sifat Agama, yaitu diturunkan dan diwariskan secara turun temurun dari satu generasi ke generasi lainnya. Selanjutnya ada yang berpendapat berbeda yang mengatakan bahwa Agama berasal dari teks dan kitab suci. Dan Agama-Agama memang mempunyai kitab-kitab suci. Selanjutnya dikatakan lagi bahwa Agama berarti tuntunan. Pengertian ini menggambarkan salah satu fungsi Agama sebagai tuntunan bagi kehidupan manusia.
            Selanjutnya dien dalam bahasa Semit berarti undang-undang atau hukum. Dalam bahasa Arab kati ini mengandung arti menguasai, mendudukan, patuh utang, balasan, dan kebiasaan. Pengertian ini juga sejalan dengan kandungan Agama yang didalamnya terdapat aturan-aturan yang merupakan hukum, yang harus dipatuhi penganut Agama yang bersangkutan. Selanjutnya Agama juga menguasai diri seseorang dan membuat ia tunduk dan patuh kepada Tuhan dengan menjalankan ajaran-ajaran Agama. Agama lebih lanjut membawa utang yang harus dibayar oleh para penganutnya. Paham kewajiban dan kepaTuhan ini selanjutnya membawa kepada timbulnya paham balasan. Orang yang menjalankan kewajiban dan patuh pada perintah Agama akan mendapat balasan dari Tuhannya. Sedangkan orang yang tidak menjalankan kewajiban dan ingkat terhadap perintah Tuhanya akan mendapatkan balasan yang menyedihkan.
            Adapun kata religi  (relegere) berasal dari bahasa latin yang mengandung arti membaca atau mengumpulkan. Pengertian demikian juga sejalan dengan penertian Agama yang mengandung pengertian kumpulan cara-cara mengabdi kepada Tuhan yang tersusun dalam kitab suci yang harus dibaca. Tetapi menurut pendapat lain, bahwa kata Agama berasal dari kata relegere yang berarti mengikat. Ajaran-ajaran Agama memang mempunyai sifat mengikat bagi manusia. Dalam Agama selanjutnya terdapat pula ikatan manusia dengan Tuhannya. Dan lebih lanjut lagi memang mengikat manusia dengan Tuhannya.
            Dari beberapa definisi tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa intisari yang terkandung dari istilah-istilah diatas adalah ikatan. Agama memang mengandung arti ikatan yang harus dipegang dan dipatuhi manusia. Ikatan ini mengandung pengaruh besar sekali terhadap kehidupan manusia sehari-hari. Ikatan ini berasal dari sesuatu kekuatan yang lebih tinggi dari manusia. Suatu kekuatan gaib yang tidak dapat ditangkap oleh panca indra.
Adapun pengertian Agama dari segi istilah dapat dikemikakan senbagai berikut. Elizabet K. Notthigham dalam bukunya Agama dan Masyarakat berpendapat bahwa Agama adalah gejala yang begitu sering terdapat dimana-mana sehingga sedikit membantu usaha-usaha kita untuk membuat abstraksi ilmia. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa Agama terkait dengan usaha-usaha manusia untuk mengatur dalamnya makna dari keberadaannya sendiri dan kederadaan alam semesta. Agama telah menimbulkan khayalnya yang paling luas dan juga digunakan untuk membenarkan kekejaman orang yang luar biasa terhadap orang lain. Agama dapat membangkitkan kebahagiaan batin yang sempurna, dan juga perasaan takut dan ngeri. Agama juga merupakan pantulan dari solidaritas sosial.
Jika dikaji lebih dalam, Agama dan Tuhan itu sebenarnya adalah ciptaan manusia[1]. Pengertian Agama diatas sudah tidak mendapatkan kesepakatan, karena sebagaimana dikatakan diatas, bahwa kita sudah sangat sulit sekali bahkan mustahil dapat menjumpai definisi Agama yang diterima semua pihak. Defenisi Agama diatas didapat dari kaum sosiolog yang mendefenisikan Agama dengan bertitik tolak dari Agama yang dipraktekan, dihayati, dan di amalkan oleh masyarakat. Defenisi Agama yang mereka bangun bertolak dari bentuk formal yang nampak dari Agama. Bahkan bukan merupakan subtansi inti. Kaum sosiolog mendefenisikan dari kenyataan yang bersifat lahiriyah, dan bukan dari aspek batiniyah.
Pengertian Agama yang di bangun kaum sosiolog bertolak dari das sain, yakni Agama yang dipraktekan dalam kenyataan empirak yang terlihat, dan bukan berangkat dari aspek das sollom, yakni Agama yang sebenarnya dipraktekan dan secara normatif teologis sudah pasti baik adanya. Agama dalam pengertian empirik ini, bisa jadi berbeda dengan Agama yang terdapat pada aspek batin yang bersifat subtansi. Pengertian Agama yang diangkat dari apa yang dipraktekan oleh kaumnya perlu disikapi dengan sikap kritis dan hati-hati.
Berkenaan dengan ini Taufiq Abdullah telah mengkritik pendapat Emil Durkheim  tentang Agama sebagai mana disebutkan diatas. Ia mengatakan, tidak perlu bertolak dari sini, pertama,  Durkheim sampai pada kesimpulan tersebut karena ia hanya meneliti Agama melalui tulisan para pengembara misionaris, dan kehidupan Agama pada suku-suku Aborijin di Australia yang dianggap begitu murni. Sedangkan Agama haruslah didefenisikan secara universal. Kedua, Durhkeim terlalu sekuler, dan mengatakan semakin moderen suatu masyarakat maka semakin berfungsi solidaritas yang organik. Dalam suasana ini Agama sudah kehilangan relevansinya, karena telah digantikan oleh moral ilmiah.
Nottingham menampakan pendapatnya  pada realitas obyektif. Yaitu Agama bertujuan mengangkat harkat dan martabat manusia dengan cara memberikan suasana batin yang nyaman dan menyejukan. Tapi juga Agama terkadang disalah gunakan oleh penganutnya untuk tujuan-tujuan merugikan orang lain. Misalnya dengan cara nemutar balikkan interprestasi Agama secara keliru dan berjuang pada tercapainya tujuan yang bersangkutan.
Karena terlalu banyaknya pengertian tentang Agama yang dikemukakan oleh para ahli, maka Agama dapat diberi defenisi debagai berikut:
a)      Pengakuan terhadap adanya hubungan manusia dengan kekuatan gaib yang harus dipatuhi,     
b)      Pengakuan terhadap adanya kekuatan gaib yang mengiasai manusia,
c)      Mengikat diri kepada suatu bentuk hidup yang mengandung pengakuan pada suatu sumber yang berada diluar diri manusia yang mempengaruhi perbuatan-perbuatan manusia,
d)     Kepercayaan pada suatu kekuatan gaib yang menimbulkan cara hidup tertentu,
e)      Suatu sistem tingkah laku yang berasal dari kekuatan gaib,
f)       Pengakuan terhadap adanya kewajiban-kewajiban yang diyakini sumber pada suatu kekuatan gaib,
g)      Pemujaan terhadap kekuatan yang gaib yang timbul dari perasaan yang lemah dan perasaan takut terhadap kekuatan misterius yang terdapat dari dalam alam sekitar manusia,
h)      Agama yang diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui seorang rosul[2].
Selanjutnya Taib Thahir Abdul Muin mengemukakan defenisi Agama sebagai peraturan Tuhan yang mendorong jiwa seseorang yang mempunyai akal untuk menjalankan kehendak dan pilihannya sendiri mengikuti peraturanya tersebut, guna mencapai kebahagiaan hidupnya didunia dan akhirat. Dan dari beberapa defenisi tersebut diatas, maka dapat diambil karakteristik Agama sebagai berikut:
1)      Unsur kepercayaan terhadap kekuatan gaib. Kekuatan gaib tersebut dapat mengambil bentuk yang bertacam-macam. Dalam Agama primitif kekuatan gaib tersebut dapat mengambil bentuk benda-benda yang memiliki kekuatan misterius, ruh atau jiwa yang terdapat dalam benda-benda yang memiliki kekuatan misterius (dewa). Kepercayaan akan adanya Tuhan adalah dasar yang utama sekali dalam paham Agama. Tiap-tiap Agama kecuali Budaisme yang asli dan beberapa Agama yang lain berdasar atas kepercayaan pada suatu kekuatan gaib, dan cara tiap-tiap hidup manusia yang percaya pada Agama di dunia ini amat rapat hubunganya dengan kepercayaan tersebut,
2)       Unsur kepercayaan bahwa kebahagiaan dan kesejahteraan hidup di dunia ini dan di akhirat nanti tergantung pada adanya hubungan yang baik dengan kekuatan gaib yang dimaksud. Dengan hilangnya hubungan yang baik itu kesejahteraan dan kebahagiaan yang dicari akan hilang pula. Hubungn baik ini selanjutnya diwujudkan dalam bentuk peribadatan, selalu mengingatnya, melaksanakan segala perintahnya dan menjaihi larangannya.
3)      Unsur respon yang bersifat emosional dari manusia. Respon tersebut dapat mengambil rasa takut, seperti yang terdapat pada Agama primitif, atau perasaan cinta seperti yang terdapat pada Agama-Agama monoteisme. Selanjutnya respon tersebut dapat pula mengambil bentuk dan cara hidup tertentu bagi masyarakat yang bersangkutan.
4)      Unsur paham adanya yang kudus (sacred) dan suci, dalam bentuk kekuatan gaib, dalam bentuk kitab suci yang mengajarkan ajaran Agama yang dersangkutan, tempat-tempat tertuntu, peralatan untuk menyelenggarakan ibadah dan sebagainya[3].

Berdasarkan uraian diatas dapat kita ambil kesimpulan bahwa Agama adalah ajaran yang berasal dari Tuhan atau hasil renungan manusia yang terkandung dalam kitab suci yang turun temurun diwariskan oleh suatu generasi ke generasi dengan tujuan untuk memberi tuntunan dan pedoman hidup bagi manusia agar mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat, yang didalamnya mencakup unsur kepercayaan dan kekuatan gaib yang selanjutnya menimbulkan respon emosional dan keyakinan bahwa kebahagiaan hidup tersebut tergantung pada adanya hubungan yang baik dengan kekuatan gaib tersebut.
Dari kesimpulan tersebut dapat dijumpai lima aspek yang terkandung dalam Agama. Pertama aspek asal-usul, yaitu yang berasal dari Tuhan seperti Agama samawi, dan ada yang berasal dari hasil pemikiran manusia seperti Agama ardi atau Agama kebudayaan. Kedua aspek tujuan, yaitu untuk memberi tuntunan hidup agar bahagia di dunia dan di akhirat. Ketiga aspek ruang lingkupnya yaitu keyakinan akan adanya kekuatan gaib, keyakinan manusian bahwa kesejahteraan di dinia ini dan kehidupan di akhirat tergantung pada adanya hubungan yang baik dengan dengan kekuatan gaib, respon yang bersifat emosional dan adanya yang dianggap suci, keempat aspek pemasyarakatanya, yaitu disampaikan secara tutun-temurun dan diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya, dan kelima aspek sumbernya, yaitu kitab suci.

B.        Latar Belakang Perlunya Manusia Akan Agama
           Manusia terdiri atas dua unsur, yaitu jasmani dan rohani dan secara otomatis kedua unsur tersebut memiliki kebutuhan sendiri. Kebutuhan jasmani dipenihi oleh sains dan  teknologi, sedangkan kebutuhan rohani dipenuhi oleh kebutuhan akan Agama dan moralitas. Apabila kedua kebutuhan tersebut telah terpenuhi, menurut Agama, ia akan mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat. Bahkan Agama menekankan bahwa kebahgiaan rohani lebih penting dari kebahagiaan materi. Kebahagiaan materi menurut Agama, bersifat sementara dan akan mudah hancur, sedangkan kebahagiaan rohani bersifat abadi.[4] Maka terdapat tiga alasan yang melatarbelakangi perlunya manusia akan Agama, diantaranya adalah:

1)               Latar belakang fitrah manusia

Fitrah manusia, dalam bentuknya yang murni, selaras dengan hukum alam. Ia mempersembahkan diri, parsah, dan tunduk kepada Tuhannya, sepasrah dan setunduk segala sesuatu dan setiap yang bernyawa. Maka setiap orang yang menyimpangb dari hukum illahi, bukan saja ia bertabrakan dengan alam, melainkan juga dengan fitrah yang ada dalam dirinya. Akibatnya ia akan sengsara, gelisah, galau dan bingung.
Manusia kini dihadapkan dengan kekosongan jiwa. Jiwanya kosong akan hakikat iman serta aturan illahi. Dan fitrahnya yang murni tidak dapat bertahan lama dengan sesuatu yang hampa. Aturan illahi inilah yang sanggup mengharmonisasikan gerakanya dengan gerak alam tempat ia hidup.[5]
Disaat berbicara dengan para Nabi, imam Ali Alaihissalam menyebutkan bahwa mereka diutus untuk mengingatkan manusia kepada perjanjian yang telah diikat kepada fitrah mereka, yang kelak mereka akan dituntut untuk memenuhinya. Perjanjian itu tidak tercatat diatas kertas, tidak pula diucapkan dengan lidah,  melainkan terukir dengan penciptaan Allah yang terukit dalam kalbu dan lubuk fitrah manusia, dan di setiap permukaan hati murni serta di dalam perasaan batiniah. Adanya setiap manusia dilahirkan atas dasar berAgama Islam, karena Allah telah mengadakan dialog dengan semua roh manusia sejak manusia pertama sampai manusia yang bakal lahir diakhir zaman kelak. Sebelum diciptakanya jasad, Allah telah meminta kesaksian roh di dalam alam arwah. Dan semua roh manusia itu sudah sama-sama memberikan kesaksianya. Kesaksian dan pengakuan roh-roh semacam itu dapat di baca dalam Al-Quran surat Al-A’raf ayat 172:
“dan ingatah tatkala Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap roh-roh mereka seraya Allah berkata: Bukankah aku Tuhanmu ? mereka menjawab : Ya, (Engkau Tuhan kami) kami bersaksi (kami lakukan yang demikian itu) agar nanti dihari kiamat kami tidak mengatakan: sesungguhnya kami lupa tentang hal ini (tidak diberi peringatan)”[6]
Mengapa Allah meminta kesaksian lebih dahulu terhadap roh-roh atas dirinya sebelum diciptakan? Terdapat dua alasan untuk menjawab pertanyaaan tersebut, yaitu:
1.      Agar manusia tidak beralasan dan lupa, karena Roh suci itu, tidak bisa lupa
2.      Agar manusia tidak melemparkan kesalahan kepada nenek moyangnya yang telah mempersekutukan Allah dengan Tuhan lainya. Karena Roh nenek moyangnya, cucu, dan anaknya itu sudah sama-sama memberi kesaksian di hadapan Allah. Roh itulah yang di tiupkan oleh Allah kedalam jasad manusia setelah sempurna kejadianya setelah berumur 4 bulan dalam kandungan ibunya.
Terdapat 3 bukti bahwa Roh manusia itu sudah pernah mengadakan perjanjian dengan allah, yaitu:
1.      Adanya rasa takut dan harap
2.      Adanya rasa estetika
3.      Adanya rasa berTuhan

Menurut ilmu sosiologi, fitrah tersebut dinamakan hasrat bergaul. Diantara hasrat-hasrat :
1.      Hasrat ingin bergaul
2.      Hasrat ingin mengetahui
3.      Hasrat ingin memberi tahu
4.      Hasrat ingin patuh
5.      Hasrat ingin dihormati

Adanya hasrat itulah setiap manusia, bagaimana jeleknya, akan merasa malu bila dikatakan jelek. Manusia bagaimana kecil dan hinanya dalam pandangan masyarakat pasti tidak mau dihina dan direndahkan.
Bukti bahwa manusia merupakan mahluk yang memiliki potensi berAgama ini dapat dilihat melalui bukti historis dan antropologis. Melalui bukti historis dan antropologis kita mangetahui pada manusia primitif yang kepadanya tidak pernah datang informasi mengenai Tuhanya, ternyata mereka mempercayai adanya Tuhan, sungguhpun Tuhan yang mereka sembah itu terbatas pada data hayalan. Mereka misalnya memperTuhankan pada benda-benda alam yang menimbulkan kesan misterius atau mengagumkan. Pohon kayu yang usianya sudah ratusan tahun tidak tumbang di anggap memiliki kekuatan misterius dan selanjutnya mereka perTuhankan. Kepercayaan demikian itu kemudian dinamakan Agama dinamisme. Selanjutnya kekuatan misterius tersebut diganti istilah ruh atau jiwa yang memiliki karakter dan kecenderungan baik dan buruk yang selanjutnya mereka dinamkan Agama animisme. Ruh yang memiliki karakter tersebut mereka personofikasikan dalam bentuk dewa yang jumlahnya banyak dan selanjutnnya dianamakan Agama politeisme. Kenyataan ini menunjukan bahwa manusia memiliki potensi berTuhan. Namun karena potensi tersebut tidak diarahkan, maka mengambil bentuk bermacam-macam yang keadaanya serba relatif. Dalam keadaan itulan diutus para Nabi kepada mereka untuk menginformasikan bahwa Tuhan yang mereka cari itu adalah Allahyang memiliki sifat-sifat sebagaimana juga dinyatakan dalam Agama yang di sampaikan Nabi. Untuk itu, jika manusia ingin mendapatkan keagamaan yang benar haruslah melalui bantuan para Nabi. Kepada mereka itu, para Nabi menginformasikan bahwa Tuhan yang menciptakan mereka dan wajib di sembah adalah Allah. Dengan demikian sebutan Allah adalah Tuhan, bukanlah hasil karya ciptaan manusia, dan bukan pula hasil seminar, penelitian dan lain sebagainya. Sebutan nama Allah bagi Tuhan adalah disampaikan oleh Tuhan sendiri.
Melalui beberapa penjelasan diatas, dapat kita simpulkan bahwa latar belakang perlunya manusia akan Agama adalah karena dalam diri manusia sudah terdapat potensi untuk berAgama. Potensi berAgama ini memerlukan bimbingan, pengarahan dan pengembangan dan seterusnya mengenalkan Agama kepadanya.

2)               Kelemahan dan kekurangan menusia
Manusia adalah mahluk berfikir. Berfikir adalah bertanya, bertanya adalah mencari jawaban, mencari jawaban adalah mencari kebenaran. Jadi manusia adalah mahluk mencari kebenaran. Manusia terdiri dari dua unsur, jasmani dan rohani. Kedua unsur tersebut berasal dari bahasa Arab yaitu roh dan jasad. Roh bisa diartikan nyawa atau jiwa, jasad berarti tubuh atau raga, sehingga bisa disebut jiwa raga. Masalah jasad tubuh atau raga, sudah diketahui oleh manusia. Sedangkan masalah roh, nyawa atau jiwa, ilmu pengetahuan belum berhasil mengetahui hakikatnya. Allah sendiri telah menyatakan ketidak mamppuan manusia untuk mengetahui masalah roh tersebut. Surat Al-Isra’ ayat 85 yang artinya: mereka menanyakan engkau tentang roh. Katakanlah: Roh itu termasuk urusan Tuhanku dan kamu tidak diberi ilmu kecuali sedikit sekali. Berdasarkan ayat tersebut terkandung pengertian:

1.      Hakikat roh, hanya diketahui oleh Allah
2.      Manusia sejak dulu, belum mengetahui hakikat roh tersebut
3.      Ilmu pengetahuan tersebut belum/tidak akan mampu menyingkap rahasia roh itu[7].

Berarti, manusia belum mampu menyingkap hakikat dirinya. Atau dengan kata lain, manusia belum mengetahui hakikat manusia itu sendiri. Namun yang harus kita ketahui hakikat manusia adalah masalah rohnya. Maka roh akan dihadapkan dengan pengetahuan Agama apa yang seharusnya dianut oleh manusia ini. Apabila kita tidak memiliki pegangan maka kita akan hanyut dibawa gelombang propaganda. Dalam Islam terdapat ajaran bahwa manusia dilahirkan atas dasar fitrah. Fitrah dalam artian mamiliki sifat-sifat yang baik, sifat-sifat keTuhanan atau berAgama. Sebagaimana dijelaskan dalam hadits Nabi yang diraiwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah, bahwa Rosulullah pernah bersabda: tidak ada seorang anakpun yang dilahirkan, kecualai dilahirkan dalam keadaan fitrah. Maka kedua orang tuanyalah yang menjadikan Yahudi atau Nasrani dan Majusi. Setelah Abu Huraira menbacakan hadits tersebut beliau mengatakan bacalah firman Allah yang artinya: Fitrah Allah, yang diatas fitrah itulah Allah menciptakan manusia tidak ada perubahan bagi ciptaan Allah tersebut (Ar-Rum: 30).
Ditambahkan oleh Quraish Shihab, bahwa kita diilhami oleh potensi agar manusia melalui jiwa menangkap makna kebaikan dan keburukan. Namun diperoleh pula isyarat bahwa pada hakikatnya potensi positif manusia labih kuat daripada isyarat negatifnya. Sifat-sifat yang cenderung kepada keburukan yang ada pada diri manusia itu antara lain berlaku dzalim (aniaya), dalam keadaan susah payah (kabad), suka melampaui batas (anid), sombong (kubbar), ingkar dan lain sebagainya. Karena itu  manusia dituntut agar memelihara kesucian jiwanya, dan tidak mengotorinya. Untuk dapat menjaga kesucian jiwanya, manusia harus mendekatkan dirinya kepada Tuhannya dengan bimbingan Agama, dan disinilah letak kebutuhan manusia akan Agama.


3)               Tantangan manusia

Latar belakang perlunya manusia akan Agama adalah karena manusia dalam kehidupanya selalu diahadapkan dengan tentangan, baik tantangan yang berasal dari dalam maupun dari luar. Tantangan yang berasal dari dalam adalah hawa nafsu yang mempengaruhi jasad dan dapat berpengaruh pada tugas jiwa dalam menguasai emosi, perasaan, dan sikap sentimentilnya.
Semua perbuatan yang dilakukan bersifat kehendak, pasti akan dilakukan dengan proses berfikir. Proses tersebut biasanya disertai beberapa langkah strategi dan terkadang strategi itu harus dilaksanakan secara keseluruhan. Akan tetapi dalam sebuah keadaan, strategi itu dilaksanakan hanya sebagian saja. Terdapat beberapa langkah dalam berfikir, langkah pertama dalam berfikir adalah merasakan bahwa setiap masalah pasti ada solusinya. Langkah kedua adalah menentukan masalah yang sedang di hadapi. Langkah ketiga, memikirkan langkah-langkah yang akan ditempuh sebagai langkah unttuk diselesaikan. Langkah keempat adalah menimbang solusi yang tepat. Langkah kelima adalah mengambil satu dari sekian banyak solusi yang ada untuk dijadikan solusi akhir.[8]
Langkah-langkah tersebut akan berjalan didalam jiwa manusia seakan akan ia sedang berbicara dengan dirinya sendiri. Allah berrfifman dalam Al-Quran, dan sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikan dalam hatinya, dan kami lebih dekat kepadanya lebih dari urat lehernya.[9]
Banyak unsur yang masduk ketika terjadi dialog dalam diri manusia, kemudian jiwa akan mementukan kehendaknya dalam nenentukan pilihan tertentu sehingga dalam diri manusia akann terdapat keinginan yang sangat kuat untuk mendapatkan kehendaknya tersebut. Semua ini akan berlalu dengan sangat cepat malalui rangkayan fisiologi. Yaitu melalui rangkayan otak dan jasad manusia, lalu lahirlah sebuah perbuatan. Perbuatan yang tidak didasari pemahaman akan Agama akan membawa sikap manusia melebihi sikap hewani, karena didasari oleh hawa nafsu dan bisikan syaitan[10].
Sedangkan tantang dari luar dapat berupa rekayasa dan upaya-upaya manusia untuk menjauhkan dirinya dengan Tuhanya. Mereka dengan rela mengeluarkan harta bendanya, tenaga dan fikiran yang dimanifestasikan dalam berbagai kebudayaan yang didalamnya terdapat misi untuk menjauhkan manusia dengan Tuhanya.[11]


[1] DR. H. Abuddin Nata, metodologi studi Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), hal, 11.
[2] Harun Nasution, Islam dilihat dari beberapa aspeknya, (Jakarta: UI Press, 1979), hal, 9-10.
[3] Ibid, hal. 11.
[4] Drs. Amsal Bahtiar, MA, Filsafat Agama (Jakarta: Logos Wacana Ilmu), hal. 254.
[5] Ahmad Faiz, Cita Keluarga Islami (Jakarta: serambi Ilmu Semesta, 2003), hal. 20.
[6]Departemen Agama, Al-qurannul Karim Dan terjemahnya (bandung: Diponegoro, 1995), Al A’raf, ayat 172.  
[7] Drs. Abubakar Muhammad, membangun manusia seutuhnya menurut al-Quran (Surabaya: Al-ikhlas), hal, 23.
[8] Muhammad Izzuddin Taufiq, Dalil Afaq Al-Quran dan Alam Semesta Dalam Memahami Ayat-Ayat Syubhat (Solo: Tiga Serangkai), hal. 195.
[9] Departemen Agama, Al-Qurannul Karim Dan terjemahnya (bandung: Diponegoro, 1995), Al-Qof, Ayat, 16.
[10] Ibid, Surat Al-Isro: 53,
[11] DR. H. Abuddin Nata, metodologi studi Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), hal. 25.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar